Minggu, 09 Februari 2014

Krisis Sabar

cerita Super pendek.....

Amel, gadis cilik berusia dua tahun. Gemuk, lucu dan menggemaskan. Ia sangat cerdas, saking cerdasnya kerap kali aku sebagai ibunya kewalahan. Terutama saat hujan turun, Amel berkreasi dengan tanah, lumpur, dan air hujan.
"Ameeeeeel...!!", sontak aku berteriak keras dengan mata nanar melihat teras rumah yang penuh lumpur. Tangan melayang kepantatnya. "Ibu harus gimana lagi, setiap hari selalu bikin berantakan. Lihat teras rumah jadi kotor, baju kamu juga kotor, nanti kalo kamu sakit ibu juga yang repot..."

Tangisan Amel makin keras setelah diomeli, dipukuli pula. "Ayaaaaaaahh.... Ayaaaaah... Ibu.... Nakaaal..!" Ia mengadu sambil terisak pada Ayahnya, padahal ayahnya sedang tidak ada dirumah.

Aku terdiam, merasa tersentak dengan permintaan Amel pada ayahnya. Bukankah beberapa tahun lalu aku menyandang mahasiswa psikologi terbaik?

"Maafkan ibu, nak", aku memeluk anak semata wayangku penuh kasih seraya mengingat jika teriakan dan pukulan hanya akan membentuknya menjadi pribadi yang keras, dan ringan tangan. Bukankah marah tak perlu berteriak? Bukankah marah tak perlu memukuli anak? Ah kemana semua teori parenting yang dulu kupelajari sebelum menikah??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar