Sabtu, 20 Agustus 2016

Cinta Segitiga Bogor, Jakarta, dan Hujan

Aku suka hujan, manakala ia turun seringkali terpasung tuk menatapnya. Merenungi banyak hal ikhwal kehidupan.

Hujan Bogor dan banjir Jakarta seperti sebuah lingkaran tak bertepi. Manakala hujan deras mengguyur  Bogor, air di bendungan Katulampa melimpah ruah. Jaktartapun ketar-ketir akan mendapatkan serangan air bah.

Bogor memang dijuluki  kota hujan, petirnya pun masuk Gueness World Records saking banyaknya intensitas hujan berpetir. Jika tak sering hujan bukan Bogor namanya. Karena itulah walau memasuki musim kemarau, masih tetap disinggahi hujan. Mata airpun tetap jernih tak surut. Sumur di rumahkupun tak pernah kering.

Tetapi rasanya tak pernah rela kotaku disebut pengirim banjir. Toh setiap liburan panjang menjelang kendaraan berplat nomor B memenuhi jalan dan tempat-tempat wisata di Bogor. Tanah serapan yang harusnya menampung curahan air hujan berubah menjadi vila dan hotel.

Gorong-gorongnya saja dipenuhi kulit kabel. Sampah dimana-mana. Manakala hujan tiba, kemana air akan mengalir, jika salurannya tersumbat begitu hebatnya.  Ke mana pula air hujan diserap jika tanah tertutup beton semua? Daerah aliran sungai dipadati perumahan. Jangan salahkan air hujan yang meluap. Marilah tengok kedalam diri. Fokus terhadap solusi, ataukah fokus mencerca banjir karena hujan.

Jika dihadapkan dengan banjir, seolah hujan menjadi bencana. Padahal tanpa hujan, dari mana air dalam tanah berada. Sungai-sungai menjadi kering. Suhu bumipun akan meningkat. Seharusnya kita bersyukur mendapatkan hujan. Di tanah gurun pasir sana malah rindu akan hujan.  Tak perlu jauh ke gurun pasir, di Indonesia Timurpun yang jarang hujan mereka sangat merindukan hujan.

Saat ini saya sedang berkhayal DAS Jakarta dijadikan daerah pesawahan. Seluruh pesisrir pantainya tertutup mangrove. Tak ada gedung-gedung pencakar langit. Tak ada beton yang menutupi tanahnya, air sungai mengalir dengan jernih. Daerah puncak bukanlah perkebunan teh, melainkan belantara yang rimbun. Tentu tak akan ada banjir yang disebabkan air hujan yang dikirim dari Bogor ke Jakarta.

Khayalan itu memang nyata  adanya, yakni  ratusan tahun yang lalu. Saat Belanda belum tiba di tanah Sunda Kelapa dan mengubah namanya menjadi Batavia. Eksotisme Sunda kelapa akan tetap menjadi sebuah kenangan tentang keindahan pesona Nusantara. Sekarang mari sibukkan diri mencari solusi dan tindakan pencegahan agar saat hujan lebat mengguyur Bogor, Jakarta tak diserang banjir.

Semoga proyek kanal banjir tak terkatung-katung, semoga beberapa tahun kedepan daerah serapan air di DAS Ciliwung semakin luas. Atau mungkin suatu hari nanti akan ada teknologi penadah air hujan. Penampungannya sebesar danau toba. Tentu airnya akan sangat bermanfaat dan menjadi berkah untuk penghuni Bogor dan Jakarta. Bisa dijadikan air minum, MCK, irigasi, dan lain-lain. Banjirpun musnah.

Tak salah jika bermimpi bukan? Yakinlah Banjir Jakarta akan sirna jika  fokus pada penyelesaian masalah, tidak saling menyalahkan atau mencari kambing hitam penyebab banjir.

Akan ada pelangi setelah hujan, manakala badai berlalu maka langit akan terasa lebih cerah dan lebih indah. Jika banjir dan hujan adalah badai, maka dengan bergandengan tangan, bahu-membahu mencari jalan agar tak terjadi lagi. Badaipun akan berlalu. Tiada kata mustahil banjir yang disebabkan hujan akan musnah.

Untuk pencegahan jangka pendeknya, mohon buanglah sampah pada tempatnya. Karena sampah yang menyumbat aliran air akan menjadi salah satu penyebab timbulnya banjir. 

Ibukota Jakarta suatu hari dirimu akan sangat cantik, melebihi kecantikan kota Paris. Tak kalah tertibnya dengan kota-kota di Eropa. Karena dirimu penuh historis yang akan membuat siapapun terpukau karena keindahannya.

Rabu, 17 Agustus 2016

Penjajah Kekinian

71 tahun yang lalu tanggal 17 Agustus 1945, rakyat  Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya setelah dijajah 350 tahun lamanya. Berabad-abad silam Indonesia dididik dan dilatih untuk bermental pejuang.   

Hiasan berwarna merah putih menjadi penghias di setiap pelosok tanah air. Aneka dekorasi nampak saling berlomba menampakkan keindahan tersendiri, dari  pelosok desa hingga kota besarpun sama. Di setiap gedung instansi pemerintah, konglomerat tingkat atas, maupun rakyat jelata. Berbagai lomba khas 17 Agustus, seperti  panjat pinang, makan kerupuk, tarik tambang, balap karung, dan lain-lain menambah perayaan hari  kemerdekaan semakin semarak.Toko-toko online pun turut merayakannya dengan berbagai diskon yang cukup fantastis dan menggoda. Begitupun statsiun televisi menyuguhkan sajian istimewanya dengan berbagai acara yang tak kalah keren.

Bangsa ini memang telah merdeka, namun tanpa sadar kita sendiri muncul sebagai penjajah. Merebut hak-hak oranglain atas nama kebebasan mutlak tanpa ada aturan yang membingkainya.Inikah yang bernama penjajah kekinian?

Contoh perilaku penjajahan kekinian

1.      Inginkan lingkungan rumah bersih diam-diam membuang sampah seembarangan ke kebun milik orang lain, parit, sungai. Hingga pemilik kebun memasang memasang peringatan “DILARANG BUANG SAMPAH DI SINI”. Ternyata esok harinya sampah kian menggunung.

2.      Senang membully untuk kesenangan. Fenomena membuli secara fisik dan verbal dalam tayangan komedi di televisi dengan kata-kata kotor, mengejek, menghina bentuk fisik sesorang, keluarganya, sampai kekerasan fisikpun dianggap lumrah untuk memancing tawa. Akhirnya aksi bully membully menjadi trend yang dianggap keren di masyarakat. Ini sungguh berbahaya karena tindakan bullying baik secara fisik maupun verbal dapat membentuk perilaku anti sosial, dendam, depresi, bahkan membuat korban bully kehilangan nyawanya.

3.      Tidak mau antri. Serobot menyerobot adalah bukan perkara langka di Indonesia. Terlebih ketika kemacetan menyapa, menggunakan lajur dengan melawan aruspun dilakukan karena jalur sebelahnya kosong. Memakai jalur buswaypun dilakukan, mungkin pengendara lupa sedang membawa kendaraan pribadi. Budaya antri memang mahal di Indonesia, tetapi sesibuk apapun cobalah mengantri karena orang lainpun memiliki kepentingan yang serupa bahkan mungkin lebuh penting.

4.      Gaul salah kaprah. Bahasa yang kasar, vulgar, dianggap keren namun mengikis kesantunan para pelajar. Nongkrong, clubbing, mengkonsumsi narkoba, bahkan pornografi dan porno aksi bukan lagi hal yang tabu dilakukan oleh pelajar. Remaja yang menjadi harapan masa depan, justru meracuni dirinya sendiri dengan hal-hal yang dapat merusak dirinya maupun bangsanya di masa depan. Sayangnya perilaku ini sangat mudah menyebar dan menular dan butuh penanganan serius. Karena dapat membentuk kepribadian yang miskin perjuangan. Ingin hidup nyaman, banyak uang tanpa mau bekerja keras.

5.      Miskin empati. Sikap individualis di era digital kian marak. Melihat orang kecelakaan justru dijadikan spot yang asik untuk selfie. Lalu di uploadlah dijejaring sosial. Bahkan upacara pemakamanpun tak terasa sakralnya karena keluarga duka malah asik berfoto ria. Ikhlas memang harus tapi gak segitunya juga kan!?

6.  Mental pembangkang. Merasa diri paling benar, paling tahu, paling pintar, paling high class, sehingga meremehkan siapapun yang ada dihadapannya. Tak peduli orangtuanya sendiri sekalipun. Petuah dan nasehatpun dianggap sebagai penghalang kebebasan berekspresi dan sangat menjengkelkan.

7.  Lebih banyak berbicara daripada mendengar. Malas mendengar orang lain dapat membuat diri menjadi kerdil. Lebih banyak mencari kesalahan oranglain daripada mencari solusi pun adalah salah besar dan akan memupuk sikap sombong.

Masih banyak perilaku yang dianggap lumrah dan gaul tetapi menjerumuskan menjadi penjajah di negeri sendiri. Perjuangan masih belum usai. Yakni berjuang melawan nafsu jahat dalam diri yang akan membuat diri menjadi penjajah kekininian serta mengabaikan hak-hak sesama manusia.

Jangan biarkan perjuangan para pahlawan menjadi sia-sia. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri. Jadilah pahlawan di masa depan yang gemilang.

Minggu, 14 Agustus 2016

Khilafku


Kerap kali diriku mengaduh
Seakan lara hanya milikku sendiri
Nestapa tak hentinya menyapa kalbu
Perih,menyayat kalbu...

Andai saja diriku tahu,
Tentang maksud Tuhan memberiku lara
Kebahagiaan tentu membuncah setiap saat
Manakala lara menyapa,
Mungkin Ia tak inginkanku hentikan senandung lirih doa-doa yang melangit
Saat duka menerpa, mungkin dosa-dosaku terampuni
Manakala ujian menggunung, mungkin setelahnya ada rindu.

Kelak semuanya akan menjadi kenangan,
Yang tersimpan rapi dalam benak.
Saat itu, aku bersyukur betapa indah ujiNya

Sungguh di luar sana
Ada jutaan jiwa yang lebih pantas mengeluh
Namun, mereka bersyukur, pada karuniaNya
Tak henti menyapa jiwa yang lapang
Seperti ombak yang menyapa pantai setiap detik
Seperti udara yang tak kunjung habis saat dihirup

Tak pandai bersyukur jiwa ini wahai Robbku.
Ampuni Aku..


07:01
Bogor, 15 Agustus 2016


Jumat, 12 Agustus 2016

Lapar

Jangan sesekali menyepelekan rasa lapar, karena lapar adalah sinyal tubuh meminta nutrisi. Jika sedang berpuasa, itu hal yang berbeda memang harus ditahan hingga waktunya tiba.

Mengabaikan lapar kerap dialami oleh para pekerja yang sangat sibuk, anak kost yang males ke luar karena mengejar deadline, tak sedikit orang-orang yang kesulitan mendapat makanan karena kemiskinan.

Akibat yang ditimbulkan dari menunda lapar yang paling fatal adalah hilangnya sensor rasa lapar, sehingga tidak bisa membedakan mana lapar mana sakit lambung karena magg. Hal yang paling ringan dari mengabaikan lapar adalah sulit berkonsentrasi, emosi tak terkontrol, insomnia, stress, juga galau.

Rabu, 10 Agustus 2016

Wow Effect

Satu kata yang terlintas dalam benak saya pada terobosan spektakuler menjadikan kurikukum full day school dari Bapak Mentri Pendidikan pengganti Anis Baswedan adalah menciptakan "Wow Effect" atau gebrakan untuk sepak terjang pejabat baru. Supaya tidak kalah saing dengan pejabat sebelumnya yang kadung melekat di hati masyarakat.

Selain itu, terkesan tergesa-gesa tanpa adanya riset dan pertimbangan yang matang sehingga gebrakan tersebut berbalik menyerang dirinya.

Bagi saya full day school itu bagus, mengajarkan siswa belajar tanpa henti dari bangun tidur hingga tidur lagi. Artinya, salah satu yang paling cocok untuk kurikulum full day school adalah home schooling. Dimana anak-anak bisa bermain dan belajar sepuasnya, dilengkapi dengan kehangatan keluarga. Apalagi jika dalam satu rumah mempunyai banyak anak semisal 5 orang anak. Maka Montessori sistempun bisa diadopsi sekaligus.

Saat ini sangat banyak yang membuktikan bahwa anak Home Schooling, hasil didikan home education bertumbuh cemerlang. Maka, jangan biarkan sekolah merenggut kedekatan anak dengan keluarga.